Rabu, 09 November 2011

RESENSI FILM RADIT DAN JANI

Judul Film: Radit dan Jani
Durasi: 110 menit
Produser: Adiyanto Sumarjono
Sutradara: Upi
Naskah: Upi
Rumah Produksi: Investasi Film Indonesia
Pemain: Vino G. Bastian, Fahrani, Mario Merdhitia, Nungki Kusumastuti, Joshua Pandelaki


Radit dan Jani dibuka dengan Radit, sang suami, terlihat memasukkan sejumlah makanan kecil dan bir kedalam jaket kulitnya yang terlalu ketat untuk menyimpan semua barang-barang tersebut.
Sementara istrinya, Jani, merayu penjaga toko dengan penampilan seksi dan suara ‘serak-serak-basah’nya untuk mengalihkan perhatian mereka.

“Dapat ******, sayang?” tanya Radit.

“Nggak ada, sayang,” jawab Jani sebelum akhirnya ****** Radit dengan gaya **** di hadapan kedua penjaga toko culun yang terbengong-bengong menyaksikan mereka.

“Yuk!” ajak Radit.

Radit dan Jani pun melenggang keluar sambil bergandengan tangan dan tertawa renyah.

Sungguh sebuah pembukaan yang mengganggu dan membuat saya mulai mempersiapkan kemungkinan terburuk akan film ini --sutradaranya sudah terlanjur membuat saya muak dengan Realita, Cinta, dan Rock ‘n Roll dan Cerita Yogya dalamomnibus film Perempuan Punya Cerita.

Seiring berjalannya film ini, saya mulai meragukan pandangan mata saya. Cerita berlanjut dengan cukup baik. Radit dan Jani digambarkan sebagai pasangan muda yang berasal dari keluarga mampu, namun tidak disetujui pernikahannya. Mereka hidup morat-marit atas nama cinta.

Jani rela pergi meninggalkan keluarga dan rumah nyamannya untuk menderita bersama Radit yang mengajaknya bermain ABC Pancasila untuk mengusir kelaparan dan menggendongnya saat ia ngambek. Untuk kelanjutannya, saya sarankan kalian menonton film ini! ;)

Konflik cukup jelas sejak film dimulai, sedikit berpanjang-panjang namun mencapai klimaks di waktu yang lumayan tepat, dan berakhir dengan penyelesaian yang tidak antiklimaks --seperti umumnya film layar lebar Indonesia. Cerita film ini cukup nyata dalam keseharian, walau jelas kurang (bahkan kadang sama sekali tidak) realistis di bagian artistik dan kostum --begitu juga film layar lebar Indonesia lainnya. Lihat bagaimana Jani selalu muncul dengan sepatu bermotif jaguar dan tas kulit mahal, dan semua kaos-kaos keren yang dipakai Radit, bahkan ketika ia menjadi kuli bangunan. Cerita dan skenario yang merupakan variabel paling lemah dalam perfilman Indonesia ternyata cukup baik dalam Radit dan Jani.

Tanpa cerita dan skenario yang baik, tentu tidak mungkin menghasilkan film bagus. Seringkali yang terjadi adalah tidak adanya logika dalam bercerita (sekalipun untuk sebuah film). Misalnya salah satu tokoh di Cerita Yogya yang awalnya ditunjukkan sebagai perempuan galak yang mengonfrontasi teman-teman prianya yang membuat salah satu sahabatnya hamil. Ia akhirnya menjadi korban paling menderita akibat kebodohan yang bahkan lebih buruk daripada sahabatnya yang ternyata ‘digilir’ oleh sekelompok teman pria pacarnya. Ia bahkan digambarkan sebagai perempuan muda yang labil dan tidak punya harga diri. Radit dan Jani menawarkan karakter yang digarap cukup mendalam.

Radit, pria dengan ambisi menjadi musisi terkenal, terjerat narkoba dan diperlihatkan perlahan-lahan kehancurannya. Dimulai dari mencuri, mengacaukan perjalanan karir kelompok musiknya, dan seterusnya. Semua tindakannya sesuai dengan statusnya sebagai pria pencandu narkoba. Emosinya yang naik turun, sifat pencemburu, pengorbanannya demi apa yang dipercayanya sebagai cinta, dan masa-masa ia mulai ketagihan narkoba, berhasil digambarkan cukup baik.

Begitu juga dengan Jani, perempuan muda yang sesuai dengan zaman dan umurnya tidak mempunyai cita-cita, sangat memperhatikan kecantikan dan penampilan, bergaya-hidup ‘pemberontak’ (harus saya beri tanda kutip, karena sebenarnya tidak sedemikianrebel seperti yang digembar-gemborkan sutradaranya). Sebagai perempuan yang berasal dari keluarga mampu, ia juga mengambil keputusan-keputusan yang sesuai dengan karakternya. Seperti pulang pada saat butuh uang dan tidak bisa menahan emosi apabila diganggu harga dirinya.

Film diakhiri sesuai dengan pernyataan Upi Avianto, selaku sutradara dan penulis skenario, yang mengatakan bahwa film ini beraliran drama romantis yang ‘brutal’. Walaupun dalam hal ini, saya tidak setuju penggunaan bahasa Inggris --brutally romantic movie-- dan bahasa Indonesia yang amburadul dalam pernyataannya di situs resmi Radit dan Jani. Cerita cinta yang ‘kasar’ --dalam pernyataan Upi-- dengan panggilan sayang ‘bodoh’ ketimbang sayang, perkelahian yang lumayan seru, kecemburu-butaan Radit, dan pembelaan Jani terhadap Radit di hadapan keluarganya, berhasil disampaikan dengan cukup baik.

Walaupun diakhiri dengan adegan yang menurut saya tidak penting, memperlihatkan Jani dan suami barunya yang ‘ideal’ sedang bermain dengan anaknya, Kirana, saat Radit datang dan memberi hadiah untuk sang anak, saya tetap terkejut. Saya masuk kedalam bioskop dengan ekspetasi pada titik nol, bahkan harapan untuk dapat memaki satu lagi karya insan perfilman Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar